Counsellors at Law-Receiver / Administrator

Hukum Kepailitan Indonesia dalam Perspektif Sociological Jurisprudence

April 30, 2024 Publications
Hukum Kepailitan Indonesia dalam Perspektif Sociological Jurisprudence
Wacana perubahan norma hukum kepailitan Indonesia yang berlaku tampaknya terus bergulir. Sejak pandemi covid-19, isu ini menghiasi media, seminar, dan Focus Group Discussion (FGD). Meningkatnya permohonan pailit dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) serta persoalan moral hazard  menjadi faktor pendorong serta pemberlakuan moratorium.

Dalam FGD di Badan Pembinaan Hukum Nasional, Hadi Subhan menyampaikan bahwa UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU (UU Kepailitan dan PKPU) menjadi “momok”. Ini termasuk bagi pemerintah terkait kepailitan BUMN (Focus Group Discussion,Problematika Kepailitan dan Pembubaran BUMN Persero Serta Perlindungan Hukum Terhadap Kreditor, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 21 Maret 2024). Menurutnya teori, kepailitan berkembang menjadi empat fungsi: a) Insolvensi untuk menyelesaikan debitur bangkrut; b) Recovery untuk menagih utang; c) Likuidasi untuk mempercepat pemberesan; d) Eksekusi untuk putusan pengadilan yang telah inkracht.

Perubahan Hukum Kepailitan Indonesia dalam konteks norma saat ini tidak menjadi prioritas Pemerintah dan DPR, dibuktikan belum dimasukkannya dalam Prolegnas. Respon disikapi Mahkamah Agung dalam tatanan pelaksanaan norma melalui penerbitan Surat Keputusan (SKMA 3/KMA/SK/I/2020 jo. SKMA 109/KMA/SK/IV/2020 tentang Pemberlakuan Buku Pedoman Penyelesaian Perkara Kepailitan dan PKPU) dan Surat Edaran (SEMA No.2 Tahun 2016 Tentang Peningkatan Efisiensi dan Transparansi Penanganan Perkara Kepailtan.; dan rumusan perkara perdata untuk perkara kepailitan dan PKPU yaitu SEMA No.3 Tahun 20215, SEMA No.2 Tahun 2019, SEMA No.5 Tahun 2021, SEMA No.1 Tahun 2022, SEMA No.3 Tahun 2023).

Mahkamah Konstitusi juga melakukan uji materi UU Kepailitan dan PKPU melalui Putusan No.071/PUU-II/2004 dan 001-002/PUU-III/2005 (menyangkut Pasal 6 ayat (3) beserta penjelasannya dan Pasal 224 ayat (6) sepanjang menyangkut kata “ayat (3) ), serta Putusan Nomor 23 PUU-XIX/2021 menyatakan Pasal 235 ayat (1) dan Pasal 293 ayat (1), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “diperbolehkannya upaya hukum kasasi terhadap putusan PKPU yang diajukan oleh kreditor dan ditolaknya tawaran perdamaian dari debitor”.

Perspektif Sociological Jurisprudence

Kenyataan hukum tidak mungkin dilepaskan dari masyarakat. Upaya mencari hubungan hukum dan masyarakat bisa dilakukan salah satunya dengan Sociological Jurisprudence yang melihat hukum harus berjalan seiring perubahan masyarakat. Sociological Jurisprudence berbeda dengan sosiologi hukum. Pendekatan Sociological Jurisprudence adalah hukum ke masyarakat, sedangkan sosiologi hukum dari masyarakat ke hukum.

Melalui karya Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence tahun 1912, Roscoe Pound menyampaikan bahwa hukum yang baik adalah sesuai dengan hukum yang hidup di dalam masyarakat. Hukum adalah alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering and social control). Ajaran ini menekankan pentingnya living law agar hukum mendapatkan legitimasi.

Perkembangan hukum Indonesia dipengaruhi oleh sistem hukum kolonial. Sebelum diproklamirkan kemerdekaan, Wetboek van Koophandel for Indonesia (W.V.K) menjadi sumber peraturan kepailitan khusus pedagang. Terhadap nonpedagang diterapkan Reglement op de Rechsvordening (R.V). Setelah kemerdekaan, pengaturan kepailitan tunduk pada Faillissements-Verordening (F.V) yang diberlakukan untuk golongan Eropa. Golongan Timur Asing dan Bumiputra (pribumi) wajib menundukkan diri secara sukarela. Setelah masuknya Jepang, pengaturan kepailitan ditambah pemberlakuan Nodsregeling Faillissement—penghapusan putusan pailit sebelum pendudukan Jepang. Berdasarkan hal tersebut tidak ada pengaturan hukum kepailitan yang bersumber dari living law. Ini dibuktikan dengan tidak banyaknya digunakan hukum kepailitan, selain dipengaruhi belum banyaknya transaksi besar dan pendirian badan usaha saat itu (Remi Sjahdaeni, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan, Jakarta:Kencana,2016).

Setelah krisis moneter 1998, Perppu No.1 Tahun 1998 yang selanjutnya diubah menjadi UU No.4 Tahun 1998 dan kemudian menjadi UU Kepailitan dan PKPU menurut penulis adalah “kecelakaan norma” yang belum dapat diuji sesuai kenyataan masyarakat. Artinya, jika tidak ada krisis moneter, belum tentu ada undang-undang kepailitan dan PKPU. Hal ini dapat dilihat dari pembahasan setengah kamar DPR dan Pemerintah bahwa Perppu disahkan sebagai undang-undang karena deadline dalam Letter of Intent dengan International Monetary Fund(IMF). Keberadaan UU No.4 Tahun 1998 sebagai syarat pengucuran dana pinjamanan untuk menanggulangi krisis moneter.

Hukum kepailitan dan PKPU telah memberi pengaruh perkembangan budaya hukum masyarakat Indonesia. Dalam pengalaman empiris, penyelesaian perkara hukum perdata menyangkut utang-piutang melalui kepailitan dan PKPU semakin semarak. Kreditur menggunakan undang-undang kepailitan dan PKPU untuk menagih piutangnya. Profesi penunjang seperti kurator dan pengurus diminati oleh advokat atau akuntan untuk peningkatan pendapatan.

Penggunaan pranata kepailitan dan PKPU tidak sedikit menimbulkan pro dan kontra. Misalnya terhadap perusahaan sehat yang dinyatakan pailit atau PKPU akan berdampak terhadap pekerja atau kelangsungan usaha. Dampak ini sebagai konsekuensi tidak dikenalnya balance sheet/accounting insolvency dalam norma kepailitan dan PKPU Indonesia. Konsep yang dikenal adalah cash flow insolvency : when a company cannot meet its financial obligations when they’re due (Emad Mohammad Al-Amaren, Sultan Ibrahim Aletein, Kukuh Tejomurti, The Mock Application of The Insolvency Law by the Jordanian Courts: Lesson Learnt from Indonesia, Hasanuddin Law Review Volume 8 Issue 1 April 2022).
Roscoe Pound melihat hukum sebagai proses. Dia tidak menaruh perhatian pada penafsiran peraturan, melainkan pada hubungan antara hukum dan masyarakat. Hubungan ini dapat mengarahkan atau menggagalkan pembaruan hukum. Pembaruan hukum tercipta melalui konflik kepentingan dan nilai.

Sociological Jurisprudence memainkan peran dalam membentuk praktik hukum kepailitan dan PKPU. Penerapan Hukum Kepailitan dan PKPU harusnya tidak sebatas tatanan norma semata. Misalnya penerapan utang developer rumah susun tidak memenuhi syarat sebagai pembuktian secara sederhana dan tidak dapat dinyatakan pailit atau PKPU. Penerapan ini meminggirkan ketentuan undang-undang melalui praktik peraturan kebijakan (beleidsregel) SEMA.

Kasus lain adalah ditolaknya permohonan PKPU atas dasar tagihan terlalu kecil (UU Kepailitan dan PKPU tidak mengenal syarat minimum jumlah utang) dengan alasan pemohon dapat menggunakan Peraturan Mahkamah Agung Penyelesaian Gugatan Sederhana. Tidak dimasukkannya perubahan UU Kepailitan dan PKPU dalam prolegnas menunjukkan pembangunan Hukum Kepailitan dan PKPU di Indonesia sepertinya tidak lagi difokuskan dalam substansi rumusan peraturan. Apa yang terjadi tampaknya menekankan pada konteks hubungan hukum dan masyarakat dalam praktiknya sebagaimana pandangan Roscoe Pound.

Alfin Sulaiman, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Trisakti dan Founder Kantor Hukum Arkananta Vennootschap.

Sumber : https://www.hukumonline.com/berita/a/hukum-kepailitan-indonesia-dalam-perspektif-sociological-jurisprudence-lt66301058c0811/?page=all